Jakarta, TAMBANG – Isu mengenai penggunaan baterai LFP (Lithium Iron Phosphate) dan NMC (Nickel Manganese Cobalt) dalam industri kendaraan listrik masih menjadi perhatian publik. Lalu mana yang lebih unggul?
Founder National Battery Research Institute (NBRI), Evvy Kartini menjelaskan bahwa setiap jenis baterai memiliki keunggulan masing-masing, namun dari sisi performa dan nilai daur ulang, NMC dinilai lebih unggul dibanding LFP.
“LFP memang lebih stabil dan tahan lama, tetapi kapasitasnya hanya setengah dari baterai NMC. Kalau LFP hanya 1 ampere-hour, NMC bisa 2 ampere-hour. Jadi, kalau dipasang di mobil, kapasitasnya jauh lebih besar,” ujarnya dalam International Battery Summit 2025 di Jakarta, Selasa (5/8).
Lebih lanjut, Evvy menyatakan pentingnya Indonesia untuk memahami secara menyeluruh karakteristik dan potensi dari berbagai jenis baterai yang saat ini digunakan dalam kendaraan listrik.
Menurutnya, perbedaan NMC dan LFP sangat ditentukan oleh sifat dasar material. Kata dia, baterai berbasis nikel (NMC) memiliki keunggulan dalam kapasitas penyimpanan energi karena strukturnya mampu menampung lebih banyak ion lithium. Sementara itu, mangan berfungsi untuk menstabilkan struktur baterai, dan kobalt mempercepat pelepasan daya atau tenaga.
“Kobalt itu seperti cabai rawit dalam makanan. Sedikit, tapi pedas. Kalau mobil butuh tenaga besar, harus pakai NMC,” katanya memberi analogi.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, baterai LFP semakin banyak digunakan karena dinilai lebih murah dan mudah diproduksi. Meski begitu, ia mengingatkan agar pemerintah tetap mengatur penggunaannya secara selektif.
“Saya sudah meneliti baterai sejak 20 tahun lalu, sebelum isu ini ramai di Indonesia. Baterai sodium masih masa depan, belum komersial. Sementara lithium tetap yang terbaik karena merupakan elemen padat paling ringan di dunia,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya melihat siklus hidup baterai. Di akhir masa pakai, baterai LFP hanya bernilai seperti besi bekas. Sementara NMC masih memiliki nilai karena nikel dan kobaltnya bisa didaur ulang.
“Maka, kita harus melihat keseluruhan rantai pasok. Dari hulu ke hilir. Jangan hanya tergiur murahnya biaya awal,” pungkasnya.
Baca juga: Indonesia Berpotensi Jadi Pemimpin Kunci Industri Baterai Kendaraan Listrik