Jakarta,TAMBANG,- Berbagai upaya dilakukan untuk mengurangi emisi demi mencapai Net Zero Emmision (NZE). Indonesia sendiri berkomitmen mencapai NZE pada 2060. Salah satu yang didorong pemanfaatan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) dan Carbon Capture, Utilization and Storage (CCUS).
Indonesia saat ini tengah berupaya mempercepat penerapan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon ini. Tidak tanggung-tanggung ada sekitar 15 proyek CCS/CCUS yang siap beroperasi pada 2030. Namun upaya tersebut tidak mudah karena ada sejumlah tantangan dan hambatan. Salah satu kendalannya teknologi ini terbilang masih mahal khusus teknologi penangkapan karbon. Ini yang membuat baru sektor migas yang disebut sudah ekonomis sehingga bisa menerapkannya.
Hal lain yang juga penting penerapan teknologi ini butuh regulasi dan dukungan dari banyak pihak. Indonesia sudah punya payung regulasi yakni Peraturan Presiden No.14 tahun 2024 yang mengatur kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbons secara umum. kemudian ada Peraturan Menteri ESDM No.2 tahun 2023 yag secara khusus mengatur penerapan CCUS pada Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Sebagai bagian dari upaya menagkselerasi pemanfaatan teknologi ini, Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA) menyelenggarakan Forum Asia CCUS yang kelima di Jakarta Kamis (11/9).
“Jadi, kami berusaha mempertemukan para stakeholder apakah itu industri pemerintah untuk bersama-sama diskusi, mengidentifikasi bagian mana dari regulasi yang dirasa belum mendapat (masih kurang) terus bagaimana konklusinya,” terang I Gusti Suarnaya Sidemen, CCUS Research Fellow Eria dalam konferensi pers Forum Asia CCUS ke-5 di Jakarta, Kamis (11/9).
Ia juga menyebutkan dalam forum ini akhirnya ditemukan beberapa kendala dan juga terobosan yang bisa dimanfaatkan ke depan. “Seperti dalam forum kemarin muncul masukan agar resiko itu dibagi antar negara yang ada di sekitar. Ini bisa menjadi opsi ke depan karena saat ini belum dibahas (lebih) secara bersama, sehingga regulasi itu perlu (dikaji lagi),” tandasnya.
Di kesempatan ini, I Gusti juga melihat pentingnya standar bersama antar negara terkait kesepakatan aspek teknis seperti spesifikasi Co2 yang akan didaur ulang, serta letak serah terima tanggung jawab mengenai hal itu. “Nah, itu yang menjadi salah satu (yang diperhatikan), sebagai lembaga kita mencoba untuk mempertemukan stakeholder agar isu-isu ini dapat dibahas dan tentu disediakan juga oleh masing-masing negara,” jelasnya.
Event ini dilaksanakan bekerja sama dengan Kementerian ESDM bertujuan merumuskan strategi yang dilakukan oleh pihaknya untuk melakukan standarisasi regulasi antar negara terkait CCS dan CCUS. Eria sendiri memang telah menjadi Sekretariat Asia CCUS Network (ACN) yang menghubungkan pemerintah, industri, dan akademisi di kawasan Asia untuk berbagi pengetahuan dan mendorong kolaborasi.
Di kesempatan ini, Indonesia Centre of Excellence for CCS and CCUS ITB, Mohammad Rachmat Sule mengatakan sejatinya pembuatan regulasi telah dilakukan dengan matang menyesuaikan kondisi di Indonesia. Dalam prosesnya Ia mendorong keterlibatan sejumlah narasumber dari berbagai sektor. Pihaknya juga telah mempertimbangkan apa yang sudah pernah dilakukan oleh negara lain dalam pembuatan regulasi.
Mohammad juga melihat bahwa implementasi CCS/CCUS bisa terjadi paling cepat pada 2029 di Indonesia. “Nah, berarti kita masih punya waktu 4 tahunan untuk masih belajar bagaimana sampai regulasi itu bisa diterbitkan dengan sebaik-baiknya, tidak merugikan negara, tidak merugikan lingkungan dan memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya,” jelasnya.
Sebelumnya dalam keterangan pada Media, Yuji Muto, Menteri Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang menjelaskan strategi Jepang dalam pengembangan CCUS. Ia menekankan pentingnya integrasi teknologi ini dalam agenda Green Transformation (GX). “Jepang berkomitmen mencapai target Net Zero global dengan mendorong Green Transformation yang mampu menjaga ketahanan energi, mendukung pertumbuhan ekonomi, sekaligus menurunkan emisi,” terang Muto.
CCUS menurutnya menjadi teknologi kunci untuk memperkuat daya saing industri di sektor-sektor yang sulit menurunkan emisi, seperti baja dan kimia. Kemudian mengurangi emisi dari pembangkit listrik.
Muto kemudian menambahkan, Jepang sendiri menargetkan operasi CCS bisa dimulai pada awal 2030-an, dengan dukungan regulasi seperti CCS Business Act dan penetapan proyek lepas pantai, salah satunya di Tomakomai, Hokkaido. Untuk mewujudkan hal ini, yang dibutuhkan bukan hanya aturan yang jelas, tetapi juga kesepakatan terkait pengangkutan CO2 lintas negara serta solusi atas berbagai tantangan teknis.
“Melalui Asia CCUS Network, Jepang akan terus berbagi pengalaman, memperkuat iklim investasi, dan bekerja sama dengan negara-negara di kawasan untuk mempercepat penerapan CCUS di Asia,” jelasnya.
Untuk diketahui kegiatan 5th Asia CCUS Network Forum sendiri melibatkan lebih dari 400 peserta dari kalangan pemerintah, industri, dan akademisi di kawasan Asia-Pasifik yang berlangsung pada 10-11 September 2025 di Jakarta. Penyelenggaraan forum ini merupakan kerja sama antara ERIA, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri (METI) Jepang, Kementerian ESDM Indonesia, SKK Migas, serta Indonesia Centre of Excellence for CCS and CCUS.