Beranda Mineral Peningkatan Nilai Tambah Bukan Hilirisasi

Peningkatan Nilai Tambah Bukan Hilirisasi

Jakarta-TAMBANG. Diawal tahun 2017, Pemerintah mengeluarkan kebijakan baru di sektor mineral logam. Salah satunya terkait kebijakan membuka kembali keran ekspor bagi nikel kadar rendah dan bauksit untuk lima tahun mendatang. Padahal sejak 2014 Pemerintah menetapkan larangan ekspor bijih nikel da bauksit. Oleh karenanya ada sebagian kalangan menilai kebijakan terbaru ini sebagai langkah mundur dalam industri mineral dan batubara.

Menanggapi hal ini, Ketua DPP Partai Hanura, Sudewo dengan tegas mengatakan kebijakan tersebut diambil untuk menjawab kebutuhan saat ini. Bahkan Ia menilai Pemerintah telah mengambil langkah tepat dalam upaya mewujudkan kejayaan dan kemakmuran atas hasil tambang mineral.

Sudewo mengingatkan bahwa UU Minerba No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang salah satu isinya adalah kewajiban pengolahan, atau pemurnian untuk peningkatan nilai tambah mineral. Peningkatan nilai tambah dipertambangan tidak dapat diistilahkan dengan “hilirisasi”.

Saat ini, Pemerintah memang ingin memberikan nilai tambah sebanyak-banyaknya atau setinggi-tingginya. Sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas mineral. Salah satunya Predisen meminta agar daerah-daerah penghasil tambang jangan sampai tutup dan menurun pendapatannya. Oleh karenanya pemerintah mencarikan solusi dengan menambah pendapatan serta membuka lapangan kerja.

“Jika ditelaah lebih jauh mengenai peningkatan nilai tambah itu sebenarnya telah dilakukan oleh perusahaan tambang. Peningkatan nilai tambah di penambangan adalah kegiatan pengolahan sesuai dengan ilmu pertambangan” kata Sudewo dalam siara pers yang diterima Majalah TAMBANG.

Menurutnya, Kementrian ESDM bertanggung jawab pada bagian hulu, yakni peningkatan nilai tambah di penambangan yang dilakukan dengan cara grading, washing, sizing atau pencampuran untuk batu bara. Kemudian kegiatan pemurnian bagi kontrak karya adalah pemurnian mineral logam sesuai dengan pasal 95 huruf b.

Namun tidak bisa hanya berhenti di sana. Pemerintah juga harus memastikan produk smelter dalam negeri terserap oleh industri dalam negeri juga. Oleh karenanya dibutuhkan industri manufaktur berbasis mineral logam. Dan untuk mewujudkan itu, Kementrian Perindustrian memiliki peran yang sangat penting. Baru disitulah yang dinamakan dengan hilirisasi.

“Dari sana kita akan bisa lihat kata “hilir” (jelas bukan hulu), atau kata penghiliran, menuju ke hilir atau hilirisasi bisa bermakna “menuju ke ujung”, “menuju akhir”, “proses dibagian ujung” ujarnya lagi. Hal ini tentu menjadi tugas dan tanggungjawab Kementrian Perindustrian.

Hasil pengolahan di sektor pertambangan yang dilakukan pemegang IUP diperlukan untuk mewujudkan industri logam dasar, yang mana kegiatan industri ini diluar dari kegiatan pertambangan. Oleh karena itulah Pemerintah perlu mengatur lebih lanjut pengelolaan industri logam dasar pada sektor lain.

Saat ini investor smelter mayoritas dikuasai oleh asing, sehingga berakibat hasil output smelter di Indonesia juga tetap dijual ke Cina, Jepang atau Korea Selatan, seperti produk smelter nikel yakni nikel matte atau ferronikel yang diekspor ke negara-negara tersebut. “Kemudian kita mengimpor lagi dalam bentuk produk jadi yang sudah pasti lebih mahal. Jika kita ingin mendapatkan nilai tambah yang lebih besar lagi maka harus dibangun industri hilir yang siap mengolah produk smelter,” terangnya.

Dengan adanya Industri hilir, maka pemerintah dapat mengurangi impor barang jadi berbasis mineral logam dan memperkokoh perekonomian Negara. Industri logam dasar adalah awal dari progam hilirisasi yang berbasis mineral logam, dan hingga kini belum diatur lebih lanjut sektor yang berwenang membuat regulasi.

“Jika dibagian “hulu” Kementrian ESDM sudah melaksanakan program peningkatan nilai tambah, selanjutnya saya mendorong Pemerintah untuk membuat road map pembangunan industri logam dasar untuk kedaulatan mineral logam di bawah Kementrian Perindustrian guna mewujudkan program hilirisasi,” terangnya.

Sudewo juga mengingatkan bahwa keberhasilan Pembangunan Industri berbasis mineral logam butuh peran besar Pemerintah melalui BUMN. BUMN perlu bersatu dan hadir secara khusus untuk membangun industri logam dasar dan industri hilirnya. Pemegang IUP sudah jelas keahliannya dibidang pertambangan dan bukan dibidang industri, begitu pula dengan izin yang diberikan pun hanya untuk melakukan kegiatan pertambangan, bukan untuk membangun industri.

Perlu dikaji yang terjadi saat ini, para investor asing masuk dan membangun smelter tanpa ada batasan kepemilikan sahamnya. “Perlu diingat bahwa Industri Logam dasar adalah industri strategis dan Vital, maka harus dikuasai Negara minimal 51%, sisanya diprioritaskan swasta nasional atau asing dengan batasan tertentu,” tungkasnya.

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ketua Asosiasi Pertambangan Bauksit dan Bijih Besi Indonesia (APB3I) Erry Sofyan. “Para Pengusaha tambang bauksit selama ini telah melaksanakan kewajiban peningkatan nilai tambah melalui pengolahan yakni grading, washing, screening, dan tidak memiliki kemampuan untuk membangun industri berbasis mineral bauksit. Jika tetap dipaksakan pembangunan industri alumina atau aluminium oleh pemegang IUP, maka yakin hal tersebut tidak akan terwujud.” kata Erry.

Erry meminta Pemerintah untuk menaruh perhatian yang lebih besar pada industri hilir. “Di sana sangat penting untuk tersedianya road map Industri berbasis mineral logam. Peningkatan nilai tambah telah dilaksanakan oleh Pemegang IUP sesuai UU Minerba, sudah seharusnya hilirisasi dimulai dan dilakukan oleh Kementerian Perindustrian” tungkasnya.