Jakarta-TAMBANG. DPR RI menempatkan Revisi UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara (Minerba) dalam Program Legislasi Nasional tahun 2015. Ini berarti revisi atas UU yang baru enam tahun berlaku ini bakal berjalan meski dari sisi waktu rasanya tidak mungkin diselesaikan tahun ini.
Terkait dengan itu, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) dan Indonesia Mining Institute (IMI) membentuk tim khusus yang telah menyusun draft usulan. Setidaknya ada 6 poin yang menurut tim untuk dipertimbangkan dalam revisi UU Minerba.
Ketua Pelaksana Tim Masukan Revisi UU Minerba Perhapi, Evi Armila Djauhari mengungkapkan masukan yang diberikan ini tidak hanya terkait kehadiran Undang-Undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang juga membawa konsekwensi bagi regulasi di sektor pertambangan.
Namun menurut Eva, Perhapi dan IMI menghendaki revisi atas UU Minerba ini dilakukan tidak hanya untuk kepentingan tersebut tetapi harus dilakukan secara holistic. “Kita ingin agar revisi yang dilakukan tidak parsial tetapi melingkupi semua aspek. Kita lakukan revisi jangan tanggung,”kata Eva.
Dari hasil rapat kerja yang sudah dilakukan sejak bulan Mei 2015 silam tim pokja masukan revisi UU Minerba Perhapi dan IMI akhirnya menghasilkan draft usulan yang meliputi enam poin. Keenam poin tersebut mulai dari aspek perizinan, soal kesetaraan dalam usaha pertambangan, lalu ada penggolongan jenis komoditi atas tiga yakni strategis, vital dan non strategis dan non vital. Kemudian pemanfaatan tambang untuk kemakmuran masyarakat dan koordinasi antar instansi pemerintah termasuk masalah lahan dan terakhir terkait tambang rakyat sebagai warisan budaya.
Eva menjelaskan bahwa terkait dengan sistem perizinan sebenarnya ada dua hal yang harus menjadi perhatian utama. Hal pertama ini terkait dengan penguasaan negara atas sumber daya alam tambang. Negara harus memiliki kekuasaan yang penuh atas sumber daya alam. Di tempat lain dari sisi sejarah harus diakui bahwa yang menjadikan sektor pertambangan di Indonesia tumbuh dan berkembang adalah rezim kontrak.
Menurut Eva semangat dari revisi UU Minerba ini adalah penguasaan negara. Penguasaan diartikan sebagai hal untuk mengatur, mengurus, mengolah dan membuat kebijakan atau regulasi. Dan itu ada pada negara dalam hal ini Pemerintah.
Hak penguasaan ini nantinya bisa didelegasikan pada pihak atau lembaga lain. Namun tim menilai pendelegasian tersebut harus mempertimbangkan seberapa penting itu dilakukan dan berapa banyak orang yang menggantungkan hidup di usaha tambang. “Semakin banyak orang bergantung pada usaha tersebut maka harusnya semakin besar peran negara,”tandas Eva.
Selama ini yang berlaku di Indonesia ada dua rezin yakni rezin Kontrak Karya dan rezin perizinan. Kalau rezim kontrak Pemerintah ditempatkan dalam posisi yang sejajar dengan pelaku usaha. Sementara dalam rezin perizinan, Pemerintah sebagai pemberi izin ditempatkan masih lebih tinggu dari pelaku usaha. Namun pengalaman membuktikan bahwa Pemerintah masih terseret dalam urusan keperdataan seperti digiring ke arbitrase internasional.
“Oleh karenanya negara harus dilindung dan juga agar kegiatan usaha di sektor pertambangan bisa lebih efisien perlu dicari formula baru salah satunya lewat pembentukan Badan Usaha Minil Negara Khusus,”kata Eva. Dalam konsep ini menurut tim Pokja Perhapi, Negara tetap sebagai pennguasa sumber daya alam. Namun mendelegasikan konsesi atau izin tersebut pada BUMNK. Dan BUMNK yang nantinya dibentuk berdasarkan UU khusus itulah yang memiliki hak mengelola dan melaksanakan kontrak dengan pihak lain baik perusahaan nasional maupun perusahaan asing.
Tidak hanya itu perusahaan yang berkontrak dengan BUMNK tersebut akan membayar bagi hasil dengan BUMNK dan BUMNKlah yang akan membayar kewajiban keuangan seperti royalty dan pajak lainnya ke negara. “Dengan demikian kita juga akan mengelimir kecurangan yang selama ini terjadi dan tidak aka nada tunggakan royalty seperti yang terjadi saat ini,”terang Eva.
Hal yang juga menjadi masukan tim Perhapi dan IMI ini adalah terkait peran pemerintah dalam bentuk distribusi kesejahteran bagi masyarakat. Di sini tim mendorong agar dibentuk semacam Natural Resources Fund yang menyerap dana hasil kegiatan pertambangan seperti royalty. Kalau bisa dana seperti royalty tidak dicampur dengan dana dana lain dan natural resources fund tersebut nantinya akan dimanfaatkan untuk pengembangan sumber daya manusia.
Hal lain masih merupakan persoalan klasik yang memang harus segera dicarikan solusi seperti persoalan lahan, tumpang tindih kebijakan dan soal kewajiban melakukan peningkatan nilai tambah. “Peningkatan nilai tambah hendaknya mengacu pada metallurgical ekstraktif dan tidak mengacu pada melalurgi fisik sehingga tidak ada tumpang tindih dengan Kementrian Perindustrian,”terang Eva.