Tanjung Enim, TAMBANG – Tahun ini, PT Bukit Asam genap menginjak usia satu abad menambang di Tanjung Enim, Muara Enim, Sumatera Selatan. Momentum itu dimanfaatkan oleh Bukit Asam untuk meresmikan megaproyek gasifikasi, Minggu (3/3).
Melalui teknologi gasifikasi, Bukit Asam akan mengolah batu bara kalori rendah menjadi beragam produk hilir, yaitu dimethyl ether untuk pengganti elpiji, urea untuk pupuk, dan polypropylene sebagai bahan baku plastik.
Industri gasifikasi batu bara dicanangkan di area Bukit Asam Coal Based Special Economic Zone, di Tanjung Enim. Agenda pencanangan itu turut dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto, Menteri ESDM, Ignasius Jonan, dan Menteri BUMN, Rini Soemarno.
Dalam sambutannya, Direktur Utama Bukit Asam, Arviyan Arifin menjelaskan, gasifikasi akan memanfaatkan batu bara Tanjung Enim dengan kalori 4000 kcal ke bawah, yang selama ini harganya jatuh lantaran tidak diminati pasar.
“Pencanangan ini juga bertepatan 100 tahun pertambangan di Tanjung Enim. Serta melanjutkan adanya Head of Agreement yang dilakukan sebelumnya. Ini merupakan langkah awal Bukit Asam mengolah batu bara kalori rendah dengan harga tinggi,” ungkap Arviyan Arifin saat memberi sambutan.
Ia menyatakan, mega proyek Tanjung Enim akan menjadi industri pionir dalam hal hilirisasi batu bara, perdana di Indonesia. Sebelumnya, Bukit Asam juga punya proyek gasifikasi di Peranap, Riau. Tapi, hanya sebatas memproduksi dimethyl ether, tidak sampai produk turunan lainnya.
Secara teknis, gasifikasi dimulai dengan mengubah batu bara muda menjadi gas alam sintetis, kemudian dilanjutkan menjadi dimethyl ether, urea, dan bijih plastik. Gas alam sintetis diciptakan melalui perubahan thermo-kimia. Langkah awal dalam konversi, dilakukan dengan gasifikasi sumber karbon padat pada batu bara dengan uap atau oksigen, batu bara dibakar dengan pasokan udara terbatas.
Menurut Arviyan, saat beroperasi nanti, mega proyek gasifikasi ini akan menghasilkan 500 ribu ton urea per tahun, 400 ribu ton dimethyl ether, dan 450 ribu ton bijih plastik. Target kebutuhan batu bara sebagai bahan baku diprediksi sekitar 5,2 juta ton, dan untuk kebutuhan listrik mencapai 1 juta ton.
Mengenai rincian peningkatan nilai harga, Menteri Airlangga bilang, batu bara muda punya kisaran harga sekitar USD30 per ton. Sedangkan bijih plastik, harganya mencapai USD10 ribu per ton.
Dengan asumsi 6,2 juta ton batu bara muda, apabila dijual gelondongan mentah tanpa diolah, maka total hasil penjualannya USD186 juta. Sementara bila produknya sudah berbentuk bijih plastik sebanyak 450 ribu ton, maka harganya naik jadi USD4,5 miliar.
“Satu pabrik polypropylene yang kapasitasnya 450 ribu ton (harganya) USD4,5 miliar. Plus (penjualan dari produk) pabrik pupuk (maka diperoleh keseluruhan) minimal USD7 miliar. Devisa bisa dihemat ini yang bikin saya semangat (hadir) walapun (megaproyek ini statusnya) baru pencanangan,” ucap Airlangga.
Untuk diketahui, pabrik gasifikasi direncanakan mulai beroperasi pada November 2022 mendatang. Rencananya akan dibagi menjadi empat komplek di atas lahan seluas 300 hektare. Belanja modal kawasan Coal Based Special Economic Zone ini diperkirakan mencapai USD1,2 miliar untuk pabrik gas alam sintetik, dan mencapai USD2 miliar lebih untuk pabrik dimethyl ether, urea, dan bijih plastik.
Mengenai status perizinan, kawasan ekonomi dasar pengolahan batu bara itu berada di bawah kewenangan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sementara pabrik gasifikasinya, berada di bawah Kementerian Perindustrian dengan jenis Izin Usaha Industri (IUI).
Di saat bersamaan, Menteri Jonan menyampaikan sarannya, bahwa Bukit Asam diminta tidak hanya mengejar produksi dimethyl ether sebanyak 450 ribu ton per tahun, tapi hingga 1 juta ton.
“Coba bikin target 1 juta ton untuk mengurangi elpiji. Ya bisa mix. Mengenai regulasi saya kira jangan khawatir, kita akan bikin regulasi,” beber Jonan.
Sebagai informasi, hilirisasi batu bara ini dikerjakan oleh lintas BUMN, di antaranya Bukit Asam, PT Pertamina, PT Pupuk Indonesia, dan perusahaan swasta PT Chandra Asri Petrochemicals. Ke depan, mereka akan membentuk perusahaan patungan.
Khusus proyek gasifikasi di Tanjung Enim, mereka belum menentukan memakai teknologi dari mana, statusnya masih uji kelayakan alias feasibility study. Mereka punya pilihan perusahaan lain di luar Air Product and Chemicals Inc, yang sebelumnya dilibatkan pada proyek gasifikasi di Peranap, Riau.