Beranda ENERGI Migas Harga Gas Indonesia Lebih Mahal Dari Malaysia Dan Singapura

Harga Gas Indonesia Lebih Mahal Dari Malaysia Dan Singapura

 

Jakarta-TAMBANG. Para pelaku industri banyak mengeluh soal mahalnya harga gas bumi di Indonesia. Terlebih harga gas di dalam negeri lebih mahal dibanding negara tetangga, Malaysia dan Singapura.

 

Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), Achmad Safiun mengatakan harga gas bumi Indonesia menyentuh US$10,2 per million metric British thermal unit (mmbtu). Namun setelah adanya regasifikasi, harganya naik menjadi US$17,5-US$1 per mmbtu.

 

Dijelaskannya, harga ini mencuat lantaran para pelaku industri banyak yang membeli gas bumi dari para pedagang. Selain itu, para pedagang yang mendapat alokasi gas tidak bisa menjual ke industri karena tidak memiliki infrastruktur gas seperti jaringan pipa gas.

 

“Industri kita sebagian besar dapat gas dari pedagang. Masalahnya trader ini beli gas dari trader lain, yang ujungnya ke kita harga gasnya mahal. Ini yang selama ini membebani industri dalam negeri,” ujarnya, di acara diskusi Outlook Gas 2015, Century Park Hotel, Senayan, Jakarta, Rabu (7/1).

 

Dia membandingkan dengan harga gas yang dijual Singapura dan Malaysia. Di Singapura, gas dijual seharga US$3,06-3,87 per mmbtu, sedangkan di Malaysia, US$2,87-3,58 per mmbtu. Dan gas yang dijual ke perusahaan listrik Malaysia seharga US$3,56 per mmbtu.

 

“Coba bandingkan, di kita, PLN membeli gas seharga US$17 per mmbtu. Itu ada yang nggak bener. Apa pun itu, bebannya jatuh ke pelanggan yang di hilir,” kata Achmad

 

Ia juga memaparkan, dengan banyaknya aturan-aturan di sektor minyak dan gas (migas) dapat menimbulkan celah bagi mafia migas masuk dan terus dibiarkan. Salah satunya terkait alokasi gas bumi.

 

Ia berharap, ditangan pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membenahi kebijakan energi migas. Achmad menyebutkan, momentum tersebut tepat diberlakukan seiring turunnya harga minyak dunia.

 

“Seharusnya, kebijakan agar energi umumnya dan gas bumi khususnya, diperlakukan sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi, bukan sebagai komoditas pemungut penerimaan negara,” kata dia.

 

Bersamaan, Dosen Fakultas Teknologi Kebumian dan Energi Universitas Trisakti, Pri Agung Rakhmanto mengatakan prilaku bisnis semacam ini karena terkait mafia gas. Ia mencontohkan, seperti aturan alokasi gas di hulu migas yakni Permen ESDM Nomor 3 Tahun 2010, tidak diatur secara jelas, siapa orang atau perusahaan yang dapat alokasi gas.

 

“Aturan di sana hanya ada prioritas alokasi gas pertama untuk lifting minyak, industri pupuk, listrik, dan industri. Tapi siapa yang dapatkan alokasi itu tidak diatur jelas, ini celah dan sudah lama dibiarkan,” ungkapnya.

 

Bagi para pedagang pemegang izin usaha niaga gas, pada Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2005, juga tidak diatur apakah pedagang tersebut harus punya infrastruktur atau tidak, atau punya kewajiban bangun infrastruktur gas.