Beranda Kolom RKAB Satu Tahun: Quo Vadis Kepastian dan Perlindungan Hukum Sektor Tambang?

RKAB Satu Tahun: Quo Vadis Kepastian dan Perlindungan Hukum Sektor Tambang?

inovasi hendra
Ilustrasi: Tambang AMMAN

Oleh: AKHMAD ZAENUDDIN*

Jakarta, TAMBANG – Perubahan aturan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) dari tiga tahun menjadi satu tahun kembali mengguncang industri pertambangan.

Di balik dalih pengawasan dan peningkatan penerimaan negara, keputusan ini menimbulkan pertanyaan lebih mendasar: ke mana arah kepastian dan perlindungan hukum bagi pelaku usaha di sektor tambang?

Regulasi yang Berubah Arah

Melalui Permen ESDM No. 10 Tahun 2023, pemerintah sempat memperpanjang masa RKAB menjadi tiga tahun untuk memberikan efisiensi dan kepastian investasi. Ketentuan ini diperkuat PP No. 25 Tahun 2024 yang menghilangkan kata “tahunan” dalam definisi RKAB yang sebelumnya digunakan dalam PP No. 96 Tahun 2021.

Namun, hanya setahun berselang, pemerintah menerbitkan Permen ESDM No. 17 Tahun 2025 untuk mengembalikannya menjadi satu tahun.

Kebijakan yang bolak-balik ini bukan sekadar perubahan administrative, namun menyimpan isu hukum yang krusial.

Selain urusan legal formal, kondisi tersebut mengirim sinyal ketidakpastian kepada investor. Hal ini berkaitan erat dengan kepercayaan dan prasyarat pertumbuhan ekonomi.

Banyak perusahaan tambang telah menyusun RKAB multi-tahun (2024–2026) sebagai dasar rencana produksi dan pembiayaan jangka menengah.

Kini, mereka harus menyusun ulang rencana dan kembali mengajukan izin setiap tahun. Tentunya, hal ini membawa risiko keterlambatan persetujuan, renegosiasi kontrak, dan potensi kerugian investasi.

Meski pemerintah beralasan bahwa kebijakan ini bertujuan baik yaitu untuk pengendalian produksi serta adaptif dengan kondisi perubahan, termasuk menjaga stabilitas harga.

Namun dari perspektif hukum, perubahan mendadak yang terkesan tanpa masa transisi patut diduga melanggar asas kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi investasi.

Substansi Hukum yang Gagal Menjamin Kepastian

Menarik untuk mencermati inkonsistensi kebijakan RKAB menggunakan kacamata teori sistem hukum Lawrence M. Friedman (The Legal System: A Social Science Perspective, 1975).

Teori ini membagi sistem hukum menjadi tiga unsur: struktur, substansi, dan budaya hukum. Ketiga unsur tersebut harus selaras agar hukum berfungsi efektif.

Dalam konteks RKAB, persoalan utama terletak pada substansi hukum, yaitu isi peraturan yang menjadi dasar hukum kebijakan.

Norma tentang RKAB yang berubah-ubah, dari tahunan ke tiga tahun dan kembali tahunan, menunjukkan substansi hukum yang tidak stabil dan tidak sinkron antar tingkatan peraturan.

Permen ESDM No. 17 Tahun 2025 bahkan berpotensi ultra vires bila bertentangan dengan PP 25 Tahun 2024 yang masih membuka ruang RKAB multi-tahun.

Ketidakharmonisan ini menimbulkan substance gap, dimana hukum yang semestinya memberi kepastian justru menimbulkan kebingungan.

Fenomena ini kerap disebut sebagai “law on the books diverging from law in action”. Hukum di atas kertas tidak berjalan sebagaimana mestinya di lapangan.

Akibatnya, substansi hukum yang seharusnya menjadi instrumen kepastian berubah menjadi sumber ketidakpastian, berpotensi memperlemah struktur kelembagaan, dan menumbuhkan budaya birokrasi yang reaktif karena aturan dibuat untuk merespon situasi, bukan menata sistem.

Ketiadaan Perlindungan Hukum bagi Pelaku Usaha

Dari sudut pandang teori perlindungan hukum Philipus M. Hadjon, persoalan RKAB mencerminkan lemahnya perlindungan hukum dari negara terhadap pelaku usaha.

Hadjon membedakan perlindungan hukum menjadi dua bentuk yakni: Preventif, dimana perlindungan hukum diberikan sebelum hak warga negara dilanggar; dan Represif, dimana penyelesaian dilakukan setelah hak dilanggar melalui mekanisme gugatan atau hak uji materiil.

Perubahan aturan RKAB yang terkesan tanpa masa transisi jelas gagal memberikan perlindungan hukum preventif. Pelaku usaha tak diberi ruang mengantisipasi atau menyesuaikan diri sebelum perubahan diberlakukan.

Akibatnya, mereka hanya dapat menempuh jalur represif, yakni menggugat ke PTUN atau mengajukan Hak Uji Materiil (HUM) ke Mahkamah Agung, setelah kerugian terjadi.

Padahal, negara hukum yang sejati adalah negara yang mencegah potensi kesewenang-wenangan sejak awal, bukan sekedar memberi ruang menggugat bagi warga negara setelah terjadi kerugian.

Kepastian hukum dalam kerangka ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi perlindungan hukum substantif bagi warga negara, termasuk pelaku usaha pertambangan.

Kepastian dan Perlindungan: Dua Sisi Negara Hukum

Baik Friedman maupun Hadjon sama-sama menempatkan kepastian hukum sebagai fondasi sistem hukum yang sehat.

Friedman memandang kepastian sebagai prasyarat efektivitas sistem hukum, sementara Hadjon menempatkannya sebagai bagian dari perlindungan hukum bagi warga negara.

Dalam konteks RKAB, perubahan mendadak tanpa masa transisi melanggar kedua prinsip tersebut sekaligus.

Secara sistemik, menandakan substansi hukum yang tidak konsisten dan melemahkan struktur hukum. Secara normatif, menyalahi prinsip perlindungan hukum karena menghilangkan rasa aman dan keadilan bagi pelaku usaha yang telah patuh pada regulasi sebelumnya.

Terdapat putusan hukum yang menegaskan bahwa lembaga peradilan, khususnya Mahkamah Agung, berperan sebagai pengawal bagi tegaknya kepastian dan perlindungan hukum.

Hal ini di antaranya dapat dilihat pada Putusan MA No. 69 P/HUM/2018 yang membatalkan sebagian substandi Permen ESDM No. 23 Tahun 2018. Salah satu argumentasi yang diajukan pemohon adalah asas kepastian hukum bagi pelaku usaha.

Putusan ini menunjukkan bahwa ketika tindakan pemerintah bertentangan dengan asas kepastian dan perlindungan hukum, pengadilan menjadi benteng terakhir bagi para pelaku usaha untuk memperjuangkan hak dan kepentingannya.

Refleksi: Menata Substansi, Menegakkan Perlindungan

Friedman menegaskan bahwa substansi hukum adalah jiwa sistem hukum, sedangkan Hadjon menegaskan bahwa perlindungan hukum adalah tujuan negara hukum.

Inkonsistensi aturan RKAB memperlihatkan bahwa pemerintah belum dapat memenuhi secara maksimal fungsi penting dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, baik secara substansi maupun perlindungan hukum.

Jika negara ingin menjaga kredibilitas dan kepercayaan di sektor pertambangan, maka reformasi kebijakan tidak boleh berhenti pada efisiensi birokrasi.

Yang dibutuhkan adalah rekonstruksi substansi yang hierarkis dan konsisten, disertai mekanisme perlindungan hukum agar pelaku usaha tidak menjadi korban dari kebijakan yang berubah-ubah.

Pada kacamata ekonomi, kepastian hukum adalah oksigen investasi. Ini tercermin dari UU No. 25 Tahun 2007 yang menempatkan “asas kepastian hukum” sebagai dasar penyelenggaraan investasi.

Pengabaian terhadap kepastian dan perlindungan hukum di sektor pertambangan hanya akan menimbulkan penderitaan dan menghambat pergerakan ekonomi.

Inkonsistensi aturan RKAB dapat meningkatkan regulatory risk dan biaya modal yang lebih mahal. Hukum harusnya menjadi penuntun investasi, bukan sumber ketidakpastian. Hukum tidak boleh hanya dijadikan eksperimen administratif yang menambah biaya, menggerus kepercayaan, dan menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.

***

*AKHMAD ZAENUDDIN adalah advokat dan konsultan hukum.