Beranda Kolom Saatnya Electro-Yuan Menggusur Petro-Dolar?

Saatnya Electro-Yuan Menggusur Petro-Dolar?

Sumber: Dok issf.or.id

Jalal*

Seorang rekan meneruskan pesan WA yang dia terima entah dari siapa pekan lalu. Isinya, dunia keuangan internasional sedang menyaksikan sebuah pertarungan sangat dahsyat. Sebuah pergolakan struktural yang mungkin akan mendefinisikan ulang tata ekonomi global di abad ke-21, dan hasilnya bakal kita bisa kita saksikan dalam waktu dekat, beberapa tahun ke depan saja. Yang dia maksud adalah pertarungan antara dua paradigma moneter—begitu disebutnya—yaitu Petro-Dolar yang telah berkuasa selama setengah abad dan Electro-Yuan yang sedang bangkit dengan sangat cepat.  

Pertarungan tersebut dinyatakan bukan sekadar persaingan antara dua mata uang, melainkan pergulatan antara dua sistem ekonomi, dua visi geopolitik, dan yang paling fundamental, dua era energi yang berbeda. Walaupun jelas mengandung kebenaran, tetapi saya merasa perlu menanggapinya dengan skeptisisme yang sehat. Terutama dalam soal klaim bahwa Dolar bakal segera runtuh dan bakal digantikan dengan Yuan dalam perdagangan internasional. Karena itu, saya kemudian mencari tahu lebih dalam, untuk kemudian bisa menuliskan komentar saya ini.  

Dominasi dolar AS sebagai mata uang cadangan global, yang ditopang oleh sistem Petro-Dolar sejak kesepakatan dengan Arab Saudi pada tahun 1970-an, jelas mulai menghadapi tantangan eksistensial beberapa tahun belakangan. Dunia sudah melihat dan sadar sepenuhnya bahwa dominasi AS itu tak benar-benar menguntungkan mayoritas negara, dan perilaku AS di bawah kepemimpinan Trump agaknya mempercepat kehendak untuk mengurangi ketergantungan terhadap Dolar dengan cukup serius. Tapi, apakah Yuan memang berambisi menjadi tulang punggung transaksi ekonomi di luar urusan energi bersih dan elektrifikasi masa depan sepenuhnya masih perlu dilihat.

Pergeseran yang memang sedang terjadi ini, setelah saya periksa dengan saksama, agaknya bukan tentang keruntuhan mendadak suatu sistem, melainkan tentang erosi bertahap, dan fragmentasi yang didorong oleh transisi energi, ambisi geopolitik, dan inovasi teknologi—selain penurunan kekuasaan empire bernama AS itu.

Bagaimanapun, Dolar AS hingga hari ini masih bertahta sebagai raja yang tak terbantahkan. Dan ini adalah sebuah posisi yang dibangun di atas fondasi yang sangat kokoh. Panggung utamanya adalah kedalaman kocek dan likuiditas pasar keuangan AS yang benar-benar tidak tertandingi. Pasar treasury AS merupakan penyimpan nilai yang dianggap teraman sekaligus paling likuid di dunia, menjadikannya sebagai tempat berlindung yang disukai dalam kondisi aman maupun penuh gejolak. Kepercayaan institusional ini didukung oleh sistem hukum yang kuat, transparansi, dan stabilitas politik yang telah dibangun selama beberapa dekade.

Status ini dikukuhkan oleh peran petro-dolar, sebuah siklus yang sangat powerful lantaran minyak—komoditas energi paling dominan abad ke-20—diperdagangkan hampir eksklusif dalam dolar. Hal ini menciptakan permintaan global yang konstan dan artifisial terhadap dolar, memberikan Amerika Serikat, meminjam pernyataan mantan Presiden Prancis Valéry Giscard d’Estaing, keistimewaan eksorbitan—yaitu kemampuan untuk membiayai defisit neraca berjalan yang besar dengan biaya yang sangat murah, mengimpor lebih banyak daripada mengekspor, dan menjalankan kebijakan sanksi finansial yang efektif melalui kontrol atas sistem perbankan global dan jaringan SWIFT.

Namun, memang tak bisa disangkal juga, angin perubahan mulai berembus kencang seiring dengan bergesernya pusat gravitasi ekonomi dunia dan dimulainya transisi energi global yang masif. Di sinilah Electro-Yuan muncul sebagai sebuah hipotesis—bagaimanapun, memang masih demikian statusnya—dan strategi yang menarik dan sangat ambisius.

Hipotesis ini berangkat dari dominasi Tiongkok yang nyaris mutlak dalam seluruh rantai nilai elektrifikasi berbasis energi terbarukan. Tiongkok bukan hanya produsen lebih dari 80% panel surya dan 60% turbin angin dunia, tetapi juga menguasai lebih dari 70% kapasitas manufaktur baterai lithium-ion serta pemrosesan lebih dari 90% mineral tanah jarang dan 70% lithium global. Bagaimana dengan mineral untuk transisi energi lainnya? Sama saja. Di mana pun mineral itu ditambang, Tiongkok menguasai mayoritas pengolahannya.

Dominasi ini menciptakan fondasi material yang kuat bagi Yuan untuk menjadi mata uang pilihan yang tak terhindarkan dalam perdagangan teknologi hijau, pembiayaan infrastruktur energi terbarukan, dan bahkan ekspor listrik hijau. Inisiatif Belt and Road (BRI)—betapapun disangkalnya oleh Tiongkok—sebetulnya berfungsi sebagai kendaraan geopolitik untuk mengekspor model ini, menawarkan pinjaman dan pembiayaan infrastruktur kepada negara-negara berkembang, sekaligus mengikat mereka lebih erat ke ekosistem ekonomi dan moneter Tiongkok.

Tapi, agaknya para pakar yang objektif sepakat soal ini, dalam jangka pendek, yakni lima tahun ke depan, kita tidak akan menyaksikan sebuah penggantian yang dramatis, melainkan kita akan melihat fragmentasi yang fungsional. Dolar akan tetap menjadi mata uang cadangan utama dengan pangsa masih di atas 55%, sementara Yuan akan secara bertahap meningkatkan perannya dari porsi yang masih sangat kecil, sekitar 2-3% saat ini, menjadi sekitar 3-4%. Peningkatan ini akan didorong terutama oleh penggunaan Yuan dalam perdagangan bilateral komoditas energi hijau seperti lithium, nikel, kobalt, dan hasil-hasilnya seperti baterai dan panel surya.

Pengembangan Yuan digital (e-CNY) oleh para pakar dinyatakan sebagai wildcard dalam strategi ini. Sebagai Central Bank Digital Currency (CBDC), ia berpotensi memfasilitasi penyelesaian transaksi lintas-batas yang lebih efisien, dapat diprogram, dan, yang terpenting, dapat melewati sistem perbankan tradisional yang didominasi Dolar seperti SWIFT. Sistem pembayaran lintas-batas seperti CIPS dan projek percontohan mBridge yang melibatkan beberapa bank sentral akan diuji coba secara intensif. Meskipun, dan ini perlu terus diingat, jangkauan dan volumenya masih sangat kecil dibandingkan infrastruktur Dolar yang mapan.

Memasuki horizon sepuluh tahun, peta persaingan akan semakin jelas dan dunia bakal bergerak menuju multipolaritas moneter yang lebih nyata. Yuan diproyeksikan menjadi mata uang cadangan regional yang dominan di Asia, juga bagi banyak negara Global South lainnya yang terikat dengan projek-projek BRI. Pangsa Yuan dalam cadangan devisa global mungkin dapat mencapai 5-10%. Beberapa pakar bahkan menyatakan mungkin saja menyentuh 10-15% jika Tiongkok berhasil meliberalisasi pasar modalnya secara selektif dan menciptakan lebih banyak aset aman yang dapat diakses investor global. Tetapi, menurut pendapat saya, liberalisasi pasar modal Tiongkok ini adalah sebuah big if, yang kemungkinan besarnya tidak akan diambil oleh pemerintah yang dipimpin Partai Komunis Tiongkok.  

Pada fase tersebut, Electro-Yuan mungkin akan benar-benar mengkristal sebagai mata uang pembayaran utama untuk perdagangan produk elektrifikasi dan mineral kritis. Harga acuan Asia untuk komoditas seperti lithium dan tembaga mungkin mulai dikutip dalam Yuan, yang menciptakan benchmark alternatif dari yang selama ini didominasi Dolar di bursa.  

Sementara itu, untuk energi fosil, meskipun kontrak minyak dan gas jangka panjang tertentu dengan Tiongkok mungkin menggunakan Yuan—seperti yang telah diujicobakan dengan Arab Saudi dan Rusia—patokan global seperti Brent dan WTI kemungkinan besar akan tetap berdenominasi Dolar untuk waktu yang lama. Begitu perkiraan para pakar.

Kalau kemudian kita loncat ke masa depan yang lebih jauh, dalam jangka dua puluh lima tahun misalnya, dunia keuangan mungkin mengalami transformasi yang lebih mendalam dan fundamental. Sistem Petro-Dolar akan semakin terkikis relevansinya seiring dengan turunnya permintaan minyak yang diproyeksikan bakal terjadi sekitar 2030, lalu berkurangnya peran energi fosil secara keseluruhan. Nilai minyak sebagai jangkar nilai mata uang global akan memudar. Sebaliknya, Electro-Yuan berpotensi menjadi realitas yang semakin kokoh jika Tiongkok berhasil membangun ekosistem keuangan yang lebih terbuka, transparan, dan tepercaya.

Namun, seperti yang diuraikan para pakar, jalan menuju ke sana penuh dengan tantangan besar yang bersifat internal. Tiongkok harus mampu mereformasi sistem keuangannya secara mendalam, melonggarkan kontrol modal yang selama ini sangat ketat, meningkatkan kedalaman dan likuiditas pasar obligasi, serta yang paling sulit, membangun rule of law dan independensi peradilan yang dapat dipercaya oleh investor global. Tanpa fondasi kepercayaan ini, Yuan hanya akan menjadi mata uang fungsional yang kuat di segmen tertentu, tanpa pernah benar-benar menggantikan hegemoni Dolar sebagai penyimpan nilai dan jangkar sistem moneter global.

Pada akhirnya, menurut hemat saya, narasi penggusuran Petro-Dolar oleh Electro-Yuan yang dibayangkan sahabat saya itu bakal terjadi dalam waktu dekat adalah simplifikasi yang keterlaluan dan menyesatkan. Yang lebih mungkin terjadi adalah evolusi yang kompleks—dan mungkin akan terasa berlarut-larut buat kita semua—menuju sistem moneter global yang multipolar dan terfragmentasi. Dolar AS, berkat kedalaman pasar, stabilitas institusi, dan kemampuannya beradaptasi agaknya akan tetap menjadi jangkar utama sistem keuangan dunia untuk beberapa dekade mendatang, seberapapun kacaunya kepemimpinan Trump. Sementara Yuan akan tumbuh sebagai kekuatan regional dan fungsional yang dominan dalam ekosistem elektrifikasi dan perdagangan energi terbarukan, membentuk blok ekonomi khusus yang terpisah dari dominasi Dolar.

Jadi, yang saya yakini hingga sekarang, masa depan sistem moneter yang ada di hadapan kita bukanlah tentang penggantian mendadak. Tetapi, ini adalah tentang koeksistensi, kompetisi, dan ketergantungan yang kompleks antara dua sistem—sebuah tatanan multipolar yang mencerminkan kenyataan baru dalam ekonomi dan energi global, di mana aliansi geopolitik dan teknologi akan menentukan mata uang yang digunakan dalam transaksi tertentu. Dolar pasti terus terkikis, namun Yuan tak akan bisa benar-benar menggantikannya.

*Provokator Keberlanjutan, penulis buku “Mengurai Benang Kusut Indonesia: Jokowonomics di Bawah Cengkeram Korporasi” (2020). (Foto: Dok issf.or.id)

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini