Nikel tetap jadi komoditas primadona. Dari baja hingga baterai kendaraan listrik, dunia membutuhkannya. Sayang, pertambangan nikel Indonesia sering dituding ugal-ugalan. Eramet mencoba membalik stigma dirty nickel dengan praktik tambang bersih berkelanjutan.
Jakarta, TAMBANG – Raut muka Jérôme tiba-tiba kelu. Dahinya berkerut, garis-garisnya tampak jelas. Tatapannya kosong sejenak, seperti ada beban berat yang menyelinap ke dalam pikirannya. ‘Dirty Nickel’.
Dua kata itu baru saja dilontarkan salah satu peserta diskusi untuk ditanggapi dalam sesi tanya jawab. Di Barat, termasuk di Prancis—negara asal perusahaannya, Eramet—Indonesia kerap dicap sebagai penghasil nikel kotor.
Tanah bekas galian tak jarang hanyut masuk ke sungai saat hujan tiba. Airnya menjadi keruh, bercampur lumpur. Jangankan untuk memancing ikan, sekadar mencuci tangan pun warga berpikir dua kali, khawatir air itu sudah tercemar limbah kimia. Inilah gambaran sederhana yang terlintas di benak kita—dan juga di mata dunia—tentang praktik penambangan nikel di Indonesia.

Namun, CEO Eramet Indonesia itu tidak sepakat dengan stigma negatif tersebut. Menurutnya, setiap perusahaan tambang di dunia pasti meninggalkan jejak, apalagi standar pertambangan yang diterapkan tidaklah sama. Bagi Jérôme Baudelet, tidak adil jika satu kasus dijadikan alasan untuk menilai seluruh perusahaan tambang.
“Coba datang dan lihat operasinya satu per satu dan lihat bahwa orang-orang, kebanyakan dari mereka melakukan hal yang benar,” ungkap Jérôme dalam Eramet Journalist Class: Memahami Industri Nikel Indonesia – Perspektif Terkini dan Praktik Berkelanjutan di Jakarta, Senin, 25 Agustus 2025.
Jérôme menyebut bahwa di Indonesia sudah banyak perusahaan yang menerapkan praktik pertambangan yang baik, sesuai regulasi yang ditetapkan pemerintah. Ia mencontohkan perusahaan-perusahaan besar di sektor nikel, emas, timah, hingga batu bara.
Menurutnya, mereka sudah berada di jalur yang tepat: menambang sekaligus merawat alam melalui aksi penghijauan, reklamasi, keterlibatan masyarakat dan pengelolaan lingkungan berkelanjutan yang berlisensi internasional.
Eramet pun demikian. Semua area operasinya termasuk di PT Weda Bay Nickel (WBN) di Maluku Utara, sudah siap diaudit sepenuhnya oleh Initiative for Responsible Mining Assurance (IRMA). Targetnya pada tahun 2027. IRMA merupakan lembaga standar global independen yang menilai kinerja pertambangan dari aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Pencapaian tersebut menegaskan bahwa pertambangan tidak selalu identik dengan kerusakan, melainkan dapat berjalan seiring dengan upaya menjaga kelestarian alam.
“Jika Anda mengunjungi beberapa perusahaan rujukan di Indonesia yang bergerak di bidang nikel, tembaga, atau emas, Anda mungkin memiliki operasi terbaik di dunia,” imbuh lulusan Rennes School of Business ini.
Pandangan Jérôme mengenai dirty nickel sejalan dengan pernyataan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Tri Winarno. Ia mempertanyakan alasan industri pertambangan nikel di Indonesia masih sering mendapat label “dirty nickel”, padahal di lapangan praktik reklamasi tambang nikel telah menunjukkan peningkatan signifikan, serupa dengan kemajuan yang dicapai di sektor batu bara.
“Saya gak tahu kenapa, padahal batu bara terkait reklamasi pasca tambang equal dengan nikel. Nikel terhadap reklamasi pasca tambang cukup signifikan peningkatannya setelah kita lakukan diskusi dan sebagainya,” jelas Tri dalam Halalbihalal Asosiasi PertambanganJakarta, Senin 21 April 2025.
Pengamat sustainability, Jalal, menjelaskan bahwa selain IRMA, terdapat pula International Council on Mining and Metals (ICMM) Mining Principles yang diakui secara global. Keduanya merupakan inisiatif penting dalam industri pertambangan, yang banyak dijadikan rujukan sekaligus basis integrasi aspek Environmental, Social, and Governance (ESG) dalam proyek-proyek mineral untuk mendukung transisi energi.
“Jika dimanfaatkan secara optimal, keduanya akan sangat membantu pengelolaan dampak lingkungan dan sosial dari pertambangan,” ucap Jalal dalam kesempatan yang sama.
Namun demikian, Jalal mengingatkan bahwa menerapkan nilai-nilai keberlanjutan dan ESG tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perusahaan tambang masih menghadapi tantangan besar, mulai dari stigma deforestasi, degradasi lahan, hingga polusi air. Menurutnya, tantangan utama adalah memulihkan kerusakan masa lalu sekaligus mencegah dampak dari operasi yang berlangsung saat ini.
Ia juga menyoroti ketegangan horizontal dengan masyarakat, seperti konflik lahan, relokasi, isu masyarakat adat, hingga distribusi manfaat. Dari sisi tata kelola, kepatuhan regulasi pun masih menjadi pekerjaan rumah. Celah transparansi dalam perizinan serta pembayaran royalti kepada negara kerap menimbulkan persoalan baru.
“Perusahaan pertambangan yang masih menggunakan batu bara menghadapi tekanan global untuk dekarbonisasi. Hal ini menempatkan mereka pada risiko stranded assets di masa depan seiring beralihnya pasar ke energi bersih,” imbuh Jalal yang merupakan pendiri A+ CSR Indonesia.
Nikel Bersih dan Standar Keberlanjutan Nasional

Istilah ‘nikel bersih’ bukan semata soal hasil akhir berupa logam nikel. Lebih dari itu, ia menggambarkan bagaimana nikel ditambang dan diolah dengan cara yang bertanggung jawab. Kebalikan dari dirty nickel, istilah nikel bersih berarti aktivitas tambang dijalankan dengan standar lingkungan yang ketat, tanpa merusak hutan dan air, serta memperhatikan kehidupan masyarakat sekitar. Transparansi perizinan, kepatuhan pada regulasi, hingga pembagian manfaat ekonomi menjadi bagian dari komitmen ini.
Di era transisi energi, nikel bersih hadir sebagai jawaban atas kritik dunia terhadap praktik pertambangan yang serampangan. Bukan hanya bahan baku baja dan baterai kendaraan listrik, tetapi juga simbol bahwa pertambangan bisa sejalan dengan keberlanjutan. Dengan nikel bersih, Indonesia tidak hanya menambang, melainkan juga menjaga planet.
Lalu, bagaimana sebuah perusahaan dapat dikatakan menambang nikel bersih? Seperti dijelaskan sebelumnya, kaidah keberlanjutan dan standar ESG global setidaknya hingga saat ini menjadi acuan utama untuk menilai apakah sebuah perusahaan benar-benar menerapkan praktik penambangan nikel bersih.
Menurut Jalal, keberlanjutan dan ESG memiliki makna yang berbeda. Secara sederhana, keberlanjutan (sustainability) menekankan pada bagaimana perusahaan memberikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Sementara itu, ESG lebih merefleksikan pandangan pihak eksternal terhadap perusahaan, khususnya terkait pengelolaan isu lingkungan, sosial, dan tata kelola. Tujuannya agar kinerja finansial perusahaan tetap terjaga, bahkan dapat meningkat.
“Kalau ngomongin perusahaan dari Eropa kayak Eramet, tentu saja yang dipakai adalah double materiality (keberlanjutan dan ESG),” imbuh Jalal.
Di Indonesia, hingga kini belum ada standar ESG khusus untuk sektor pertambangan yang berlaku secara nasional. Regulasi yang ada masih berupa pedoman umum lingkungan dan tata kelola, sehingga belum sepenuhnya menyentuh aspek integrasi sosial maupun keberlanjutan. Kondisi ini membuat perusahaan tambang perlu merujuk pada standar internasional seperti IRMA atau ICMM Mining Principles agar tetap diakui dunia sekaligus menjaga reputasi di pasar global.
Namun, Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) menilai standar ESG global kerap tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi pertambangan di Indonesia. Karena itu, Perhapi tengah merumuskan kaidah ESG yang lebih sesuai untuk diterapkan oleh perusahaan-perusahaan tambang nasional.
Sebetulnya, kaidah keberlanjutan dan ESG secara prinsipil sudah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2025 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang diterjemahkan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) nomor 26 tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Dalam beleid ini diatur kaidah teknik pertambangan, tata kelola pengusahaan, hingga aspek keterlibatan sosial. Pasal 3 ayat 3 menjelaskan bahwa kaidah teknik pertambangan yang baik meliputi pelaksanaan aspek teknis pertambangan, konservasi mineral dan batu bara, keselamatan dan kesehatan kerja pertambangan, keselamatan operasi pertambangan, pengelolaan lingkungan pertambangan, reklamasi, dan pascatambang, serta pascaoperasi dan pemanfaatan teknologi, kemampuan rekayasa, rancang bangun, pengembangan, dan penerapan teknologi pertambangan.
Dalam Permen ini, aspek sosial dan lingkungan bahkan dimuat dalam bagian tersendiri yaitu pada bagian ketujuh tentang Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Setempat Serta Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan.

Eramet dan Act for Positive Mining
Di antara perusahaan besar yang konsisten menerapkan nilai-nilai keberlanjutan dan prinsip ESG adalah Eramet Group. Perusahaan asal Prancis ini berfokus pada komoditas nikel, mangan, litium, kobalt dan mineral sands.
Eramet Group beroperasi di sejumlah negara seperti Norwegia, Senegal, Amerika Serikat, Argentina, Gabon, New Caledonia, Perancis dan Indonesia. Di Indonesia, kehadirannya dimulai sejak 17 tahun lalu melalui Eramet Indonesia dengan berinvestasi di PT Weda Bay Nickel (WBN).
Kepemilikan saham WBN terdiri atas PT Aneka Tambang Tbk (Antam) sebesar 10% dan Strand Minerals Pte Ltd, perusahaan asal Singapura, sebesar 90%. Dari kepemilikan mayoritas tersebut, Eramet Group menguasai 43%, sedangkan Tsingshan Group memegang 57%.
Berdasarkan Minerba One Data Indonesia (MODI) Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), WBN memiliki izin Kontrak Karya (KK) dengan luas 45.065 hektare (ha) yang tersebar di dua daerah yaitu di Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur, Maluku Utara (Malut). Izinnya terhitung sejak tahun 2019-2048.
Selain melakukan kegiatan penambangan, WBN juga mengolah bijih nikelnya melalui smelter Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) untuk menghasilkan feronikel. Smelter berbasis pirometalurgi tersebut berlokasi di Kawasan Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP), Halmahera Tengah, yang posisinya relatif dekat dengan area tambang. Pada semester I/2025, WBN mencatat produksi bijih nikel sebesar 16,2 juta ton. Sementara itu, smelter yang dimilikinya memiliki kapasitas produksi hingga 300 ribu ton feronikel per tahun untuk produk akhir stainless steel. Di luar itu, Eramet menambang nikel limonite yang kemudian diolah di smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL) untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik.
Dalam proses pertambangan, mulai dari eksplorasi, studi kelayakan, kegiatan penambangan, pengolahan hingga pengiriman produk, Eramet berkomitmen untuk mengutamakan kaidah pertambangan yang baik (good mining practices/GMP), keberlanjutan, dan prinsip ESG. Seluruh komitmen tersebut terwujud dalam inisiatif yang disebut Act for Positive Mining.
Konsep tersebut menjadi peta jalan perusahaan dengan 13 tujuan untuk periode 2024–2026 hingga target jangka panjang pada 2035. Peta jalan ini berfokus pada tiga pilar utama dengan sepuluh tujuan turunan. Ketiga pilar tersebut adalah Care for People, Trusted Partner for Nature, dan Transform Our Value Chain.
“Ketika kami tiba di suatu tempat, entah itu untuk melakukan survei atau pekerjaan apapun, hal pertama yang kami lakukan adalah pergi ke kampung terdekat. Kami bicara dengan kepala desa. Kami minta izin. Biasanya, yang terjadi adalah mereka mengumpulkan warga desa, kepala desa, dan semuanya,” ucap Head of Exploration & Business Development Eramet Indonesia, Paul Marchive.
Eramet memposisikan masyarakat sebagai fondasi utama dalam setiap aktivitas usahanya. Bagi perusahaan, keberhasilan operasional tidak hanya diukur dari kinerja produksi dan finansial, tetapi juga dari sejauh mana kehadirannya memberikan manfaat nyata bagi masyarakat sekitar. Karena itu, berbagai program sosial, pengembangan kapasitas sumber daya manusia, serta pemberdayaan ekonomi lokal terus dijalankan sebagai bagian dari komitmen keberlanjutan di seluruh wilayah operasinya, termasuk di Indonesia.
Upaya tersebut menjadi bagian dari inisiatif Eramet Beyond, salah satunya diwujudkan melalui program Langkah Aksi Kapasitas Sosial Mikro untuk Inklusi (LAKSMI) yang diluncurkan pada Juni 2025 bekerja sama dengan Yayasan Cinta Anak Bangsa (YCAB).
Program ini ditujukan untuk mendukung wirausaha perempuan ultra mikro di Jakarta dan Ternate melalui pelatihan literasi keuangan serta pemasaran digital bagi 600 peserta. Di samping itu, sejak November 2024, Eramet bekerja sama dengan Kitong Bisa Foundation (KBF) meluncurkan program beasiswa bagi 42 mahasiswa asal Maluku Utara, Papua, dan Sulawesi.
Pada aspek lingkungan pascatambang, Eramet fokus pada rehabilitasi lahan, revegetasi, serta pemulihan ekosistem dengan menggunakan kembali yang sudah disiapkan sejak fase awal penambangan. Eramet juga melaksanakan pemantauan lingkungan secara berkelanjutan, mencakup kualitas air, keanekaragaman hayati, serta kondisi sosial masyarakat di sekitar area tambang.

“Jika kita mempertimbangkan hasil survei lingkungan, ada beberapa area yang harus dihindari, maka kita akan menghindarinya. Negara Anda memiliki intensitas keanekaragaman hayati yang sangat tinggi di mana-mana. Dan itu sesuatu yang perlu kita kelola setiap saat,” imbuh Paul.
Eramet juga menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 40% pada 2035 serta pencapaian netralitas karbon pada 2050, lebih cepat 10 tahun dari target global. Salah satu langkah konkret di sektor pertambangan adalah penggunaan dump truck elektrik yang mulai dioperasikan pada 2024 di site WBN.
Apa yang disinggung di atas menjadi bukti implementasi visi Act for Positive Mining Eramet di seluruh area operasional terutama di Indonesia. Inisiatif ini juga menunjukkan bahwa praktik pertambangan dapat berjalan seiring dengan tanggung jawab lingkungan dan sosial. Lebih jauh, langkah tersebut mendorong terwujudnya nikel bersih (clean nickel) dari Indonesia, yaitu nikel yang diproduksi dengan jejak karbon rendah, berkelanjutan, tidak mencemari lingkungan, melibatkan masyarakat lokal dan sesuai tuntutan pasar global akan praktik pertambangan hijau.
Baca juga: Eramet Ungkap Kelanjutan Proyek Bersama Danantara dan INA